Hasil-akibat jangka panjang dari gangguan stres pasca-trauma di antara korban tsunami Samudera Hindia di Indonesia
Jumat, 14-10-2022Ni Wayan Suriastini, Bondan Sikoki, Cecep Sumantri, Rodhiah Umaroh
Abstrak
Gangguan stres pasca-trauma (PTSD) setelah bencana dapat berubah seiring waktu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor risiko PTSD di antara korban tsunami India 2004 di provinsi Aceh dan Sumatera Utara, Indonesia. Hal tersebut memetakan pola pemulihan lintasan penyakit mental dan meneliti konsekuensi PTSD jangka menengah lima dan 18 bulan setelah bencana menggunakan survei longitudinal besar. Regresi logistik multivariat digunakan untuk memperoleh hubungan antara kelompok lintasan gangguan stres pasca-trauma dan faktor risiko. Hasilnya menunjukkan bahwa 15% dan 20% responden masing-masing memiliki PTSD jangka menengah dan PTSD onset-lambat. Prediktor vital dari PTSD persisten termasuk perempuan, berusia 50 tahun ke atas, menikah, dan memiliki paparan trauma langsung yang lebih tinggi terhadap tsunami. Lebih-lebih lagi, PTSD onset-lambat dikaitkan dengan peristiwa kehidupan negatif setelah tsunami dan dirasakan kurangnya dukungan sosial. Hasilnya menunjukkan perlunya memahami prediktor untuk setiap intervensi efektif kelompok lintasan PTSD mengenai kesehatan mental setelah bencana.
Pendahuluan
Di pagi hari tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi besar berkekuatan 9,1 skala Richter melanda Samudera Hindia, menyebabkan tsunami paling meluluh-lantakan pada abad ini. Tsunami menyebar ke daerah sekitarnya secara luas, termasuk Asia Tenggara dan Selatan serta Afrika Timur [1], menyebabkan sekitar 280.000 orang tewas dan lebih dari 2 juta mengungsi dari rumah mereka [2]. Provinsi Aceh dan Sumatera Utara di Indonesia adalah yang paling parah dilanda tsunami yang mencakup 413 km2 [3]. Apalagi bencana mematikan itu menyebabkan penurunan hampir 24% penduduk Aceh [4]. Hampir 150.000 orang tewas, lebih dari 20.000 terluka, dan 200.000 bangunan runtuh, termasuk rumah, rumah sakit, sekolah, jembatan, dan jalan [2,3].
Tragedi bencana alam ini membuat para korban putus asa dan terguncang (“shock”) setelah kehilangan rumah dan anggota keluarga, mengungsi, dan hidup dalam ketidakpastian. Kerugian yang tiba-tiba itu berdampak pada perasaan traumatis dan tekanan psikologis [5]. Studi empiris sebelumnya telah mengkaji dampak bencana alam terhadap kesehatan mental korban. Hasilnya menunjukkan bahwa orang yang menderita peristiwa semacam itu lebih mungkin memperkembangkan penyakit mental, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD) [[6], [7], [8]]. Sayangnya, penyakit jiwa di kalangan para penyintas ini menjadi berkepanjangan, karena gejalanya terdeteksi setelah lima sampai sepuluh tahun atau bahkan lebih lama setelah bencana [7,[9], [10], [11]].
Studi bencana yang berfokus pada penyintas umumnya mengamati gejala tekanan psikologis pascabencana dengan memperkirakan faktor-faktor risiko yang terkait dengan penyakit mental. Namun, studi terbaru telah mulai mempertimbangkan pola pemulihan untuk mengatasi keterbatasan yang hanya membahas gejala gangguan jiwa [[12], [13], [14]]. Studi-studi ini berfokus pada hasil-akibat pascabencana, termasuk kasus adaptif dan maladaptif, dengan melihat pola lintasan pemulihan [15]. Studi tentang efek jangka panjang dari gangguan stres pasca-trauma dan simtomatologi depresi menunjukkan bahwa sekitar 7%–58% dari korban yang sembuh dari gejala PTSD dalam 4–5,5 tahun. Sebaliknya, 6%–26% tetap persisten dengan gejalanya yang berketerusan. Kasus kerusakan yang tertunda, dengan gejala yang muncul enam bulan atau lebih setelah kejadian traumatis, diperkirakan antara 4% dan 19% [9,13,16].
Perkembangan hasil yang berbeda dari PTSD pascabencana dapat disebabkan oleh trauma yang terkait dengan bencana, peristiwa kehidupan yang merugikan, dan kurangnya sistem pendukung. Kehilangan pekerjaan dan penurunan status ekonomi subyektif menyebabkan kasus-kasus maladaptif di Jepang lima tahun setelah tsunami dan gempa bumi besar 2011 [16]. Demikian pula, peristiwa kehidupan yang negatif, termasuk perceraian, kematian, dan masalah-masalah tempat kerja, meningkatkan kasus PTSD tertunda di antara korban serangan WTC di Amerika Serikat [12]. Tiga tahun setelah Badai Katrina pada tahun 2005, para korban mengalami PTSD yang lebih parah daripada mereka yang mengkhawatirkan orang tua dan kerabat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa sistem dukungan dari keluarga dekat atau teman sangat penting untuk menghilangkan gejala dan dampak negatif bencana [14,17,18]. Dukungan keluarga yang dirasakan secara signifikan membantu remaja yang selamat dari gempa bumi di Turki mengatasi tekanan psikologis jangka panjang lebih dari dukungan nyata bagi korban 9/11 [19,20]. Selain itu, dukungan sosial merupakan faktor pelindung terhadap onset PTSD yang tertunda di antara korban gempa Wenchuan di China [21].
Banyak penelitian telah mendokumentasikan dampak jangka panjang tsunami Samudra Hindia 2004 terhadap kesehatan mental, dengan prevalensi gangguan stres pascatrauma yang bervariasi. Surveilans selama 9 bulan melaporkan 12% korban pengungsi PTSD di Thailand [6]. Di Sri Lanka, investigasi menemukan 56% prevalensi PTSD di antara para pengungsi enam bulan setelah tsunami, dengan perempuan menghadapi risiko ganda tetap lima tahun kemudian [22,23]. PTSD 12,7% berlaku di antara mereka yang selamat berusia 18 tahun ke atas di India dua bulan setelah bencana dan tingkat yang lebih tinggi bagi mereka yang terluka selama tsunami [24]. Selanjutnya, 36,5% turis Norwegia di Khao Lak, Thailand, mengalami gangguan stres pascatrauma dua setengah tahun setelah bencana [25]. Sebuah taksiran di antara responden berusia 15 tahun ke atas menemukan skor PTSD yang lebih tinggi bagi mereka yang tinggal di daerah yang rusak berat daripada yang sedang dan tidak rusak lima bulan setelah tsunami di Sumatra, Indonesia [26].
Analisis pola pemulihan lintasan PTSD dari kesehatan mental para penyintas dalam jangka menengah, tetap tidak jelas dan terbatas meskipun ada temuan. Dengan memahami pola, membantu dokter dan praktisi perawatan kesehatan memberikan intervensi kesehatan mental jangka panjang yang lebih baik setelah bencana. Deteksi dan pencegahan dini dapat membantu para penyintas mengurangi kesehatan mental yang berketerusan, mencegah timbulnya tekanan psikologis yang terlambat, dan meningkatkan tingkat pemulihan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko PTSD pada korban tsunami Samudera Hindia di provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Hal itu juga memetakan pola lintasan gangguan stres pasca-trauma penyakit mental dengan menggunakan sampel survei besar di Indonesia. Studi tersebut meneliti konsekuensi jangka menengah dari gangguan mental lima dan 18 bulan setelah bencana. Selain itu, studi ini mengamati karakteristik demografis, paparan trauma, dukungan konseling, dan peristiwa kehidupan negatif yang dialami para korban untuk memprediksi PTSD.
Cuplikan-Cuplikan Bagian
Data
Data diperoleh dari dua gelombang pertama studi Tsunami Aftermath and Recovery (STAR). STAR adalah survei longitudinal yang dirancang menggunakan kerangka asli dari populasi-yang-mewakili dalam survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik. STAR pertama dan kedua dilakukan pada Mei 2005 dan Juni 2006, masing-masing lima dan 18 bulan setelah tsunami. Survei ini mengumpulkan informasi rinci tentang pengalaman selama tsunami dari para responden dengan menggunakan data tersebut.
Gambaran statistik dari karakteristik responden
Usia rata-rata responden adalah 35 tahun, berkisar antara 15 hingga 99 tahun. Kemungkinan responden perempuan dan laki-laki yang memenuhi kriteria inklusi dan menyelesaikan survei masing-masing adalah 56% dan 44%. Berdasarkan usia, 37% responden berpendidikan SD, 65% menikah saat tsunami terjadi, dan 59% tinggal di daerah rusak sedang. Selain itu, 65% responden memiliki rumah pribadi, dan 26% memiliki rumah di dekat sungai, danau, atau laut. Skor PCL rata-rata adalah 12.3 pada gelombang pertama dan menurun menjadi…
Diskusi
Prevalensi PTSD di antara korban tsunami Samudera Hindia 2004 di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, Indonesia, tetap tinggi. Terjadi sedikit penurunan dari 38% pada lima bulan setelah tsunami menjadi 34% pada 18 bulan setelah bencana berikutnya. Besarnya pengurangan gejala dapat berbeda tergantung pada tingkat kerusakan, lamanya waktu pascabencana, dan jenis bencana. Studi ini hanya menunjukkan penurunan 4% pada PTSD, sementara Payayong et al. menemukan penurunan 41% tiga tahun setelah… yang sama.
Kesimpulan
Gejala gangguan stres pasca-trauma terus mempengaruhi para penyintas tsunami Samudera Hindia di Indonesia lima dan 18 bulan setelah bencana berikutnya. Hasilnya menunjukkan bahwa 15% responden memperkembangkan PTSD berketerusan hingga survei terakhir, sementara 20% melaporkan PTSD onset tertunda. Juga, kasus signifikan individu mengalami gangguan mental traumatis. Analisis menunjukkan bahwa 24% responden didiagnosis dengan PTSD pada skrining awal tetapi sembuh, sedangkan 42% tidak memiliki PTSD.
Deklarasi kepentingan bersaing
Para penulis menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan keuangan atau hubungan pribadi yang bersaing yang dapat mempengaruhi pekerjaan yang dilaporkan dalam makalah ini.
Referensi (45)
X. Hu et al.
Arch. Psychiatr. Nurs. (2016)
B. Han et al.
Validation of a brief PTSD screener for underserved patients in federally qualified health centers
Gen. Hosp. Psychiatr. (2016)
A.J. Lang et al.
An abbreviated PTSD checklist for use as a screening instrument in primary care
Behav. Res. Ther. (2005)
Z. Meng et al.
Int. J. Disaster Risk Reduc. (2018)
S.E.K. Henderson et al.
Int. J. Disaster Risk Reduc. (2015)
Y. Yang et al.
Front. Public Health (2021)
S. Eray et al.
Int. J. Disaster Risk Reduc. (2017)
F. Lavigne et al.
The 2004 Indien ocean tsunami World Health Organization
Regional Office for South-East Asia (2013)
A. Suppasri et al.
A decade after the 2004 Indian ocean tsunami: the progress in disaster preparedness and future challenges in Indonesia, Sri Lanka, Thailand and the Maldives
Pure Appl. Geophys. (2015)
T. Mirza
Efektivitas penyaluran bantuan kemanusiaan bagi korban bencana pasca tsunami di Banda Aceh
J Kebijak dan Adm Publik (2008)
M.S. Sajid
Unearthing the most vulnerable: psychological impact of natural disasters
Eur. J. Psychiatr. (2007)
F. Van Griensven et al.
Mental health problems among adults in tsunami-affected areas in southern Thailand
J. Am. Med. Assoc. (2006)
N. Kar et al.
Long-term mental health outcomes following the 2004 Asian tsunami disaster
Disaster Health (2014)
G.A. Fernando et al.
Growing pains: the impact of disaster-related and daily stressors on the psychological and psychosocial functioning of youth in Sri Lanka
Child Dev. (2010)
A. Ikeda et al.
Longitudinal effects of disaster-related experiences on mental health among Fukushima nuclear plant workers: the Fukushima NEWS Project Study
Psychol. Med. (2017)
P.G. Van Der Velden et al.
Persistent mental health disturbances during the 10 years after a disaster: four-wave longitudinal comparative study
Psychiatr. Clin. Neurosci. (2013)
C.A. Fernandez et al.
Longitudinal course of disaster-related PTSD among a prospective sample of adult Chilean natural disaster survivors
Int. J. Epidemiol. (2017)
R.E. Adams et al.
Predictors of PTSD and delayed PTSD after disaster: the impact of exposure and psychosocial resources
J. Nerv. Ment. Dis. (2006)
G.E. Smid et al.
Late-onset posttraumatic stress disorder following a disaster: a longitudinal study
Psychol Trauma Theory, Res Pract Policy (2012)
M.E. Kronenberg et al.
Children of Katrina: lessons learned about post disaster symptoms and recovery patterns
Child Dev. (2010)
A.S. Masten et al.
Disaster preparation and recovery: lessons from research on resilience in human development
Ecol. Soc. (2008)
Ada lebih banyak referensi yang tersedia dalam versi teks lengkap dari artikel ini.