Mendorong Lahirnya Peraturan Walikota Yogyakarta Tentang Kelanjutusiaan

Kamis, 09/08/2018Yogyakarta

causes

SurveyMETER turut mendukung dan mendorong lahirnya Peraturan Walikota Tentang Kelanjutusiaan di Kota Yogyakarta.  Hal tersebut disampaikan oleh Roni Hermoko selaku salah satu peneliti SurveyMETER yang concern dalam isu kelanjutusiaan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) “ Upaya Memadukan Pelayanan Antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam Rangka Mempersiapkan Kota Yogyakarta Menuju Kota Ramah Lansia” pada Selasa (07/08/2018) di Ruang Pertemuan Kantor Dinas Sosial Kompleks Pemerintahan Kota Yogyakarta. Roni tampil sebagai pemantik diskusi dengan menyampaikan dua hasil studi SurveyMETER tentang kelanjutusiaan yaitu Studi Asesmen Kota Ramah Lanjut Usia 2013 dan Studi Demensia Alzeimer di DIY 2015-2016.

Peserta FGD adalah para pejabat perwakilan dari OPD terkait di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta meliputi Dinas Sosial selaku tuan rumah, Bappeda, Komda Lansia DIY, Komda Lansia Kota Yogyakarta, Bagian Hukum, Dinas Perhubungan, Dinas Tata Raung, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan, dan yang lainnya.

FGD tersebut terselenggara  kerja sama Forum Perjuangan Hak Asasi Manusia (Fopperham), Dinas Sosial Kota Yogyakarta, Komda Lansia Kota Yogyakarta, dan “Program Peduli” yang didukung oleh Kemenko PMK RI dan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia. Fopperham melalui “Program Peduli” Indonesia untuk Kemanusiaan sedang mendorong beberapa daerah termasuk Kota Yogyakarta dalam mewujudkan Kota Ramah Lanjut Usia.

Kepala Pelaksana Tugas Dinas Sosial, Puji Suwarno, dalam pengantar diskusi menyampaikan FGD ini dapat menghasilkan draf peraturan walikota tentang kota ramah lansia yang kedepannya menjadi acuan penyusunan peraturan daerah. “Kota Yogyakarta sudah mendapat predikat kota ramah anak, semoga dapat disusul dengan kota ramah lansia,” tutur Puji.

Di sela paparannya Roni menyampaikan meski kali ini merupakan kali ketiga memaparkan hasil studi tentang kelanjutusiaan di lingkungan Pemkot Yogyakarta namun SurveyMETER tidak akan bosan bahkan bahagia kalau bisa terus terlibat dan hasil studi dijadikan salah satu rujukan pembuatan kebijakan termasuk penyusunan peraturan walikota. Menurutnya kebijakan mengenai lanjut usia mendesak untuk segera diwujudkan karena di tahun 2030 nanti populasi lansia akan jauh di atas populasi balita. Apalagi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi dengan populasi lansia tertinggi di Indonesia. “Meskipun populasi lansia Kota Yogyakarta masih di bawah Kabupaten Gunungkidul, namun kota memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten sehingga sangat mendesak untuk segera dipikirkan,” papar Roni.

Roni menambahkan hasil studi Demensia di DIY tahun 2015-2016 pun layak dijadikan rujukan penyusunan peraturan karena berdasar hasil tersebut satu dari lima lanjut usia di DIY sudah terpapar penyakit demensia. Penyakit demensia yang ditandai dengan berkurangnya fungsi otak akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan kesehatan lanjut usia. Di sisi lain pengetahuan masyarakat mengenai penyakit demensia masih sangat rendah “Sebagai langkah awal penting untuk mensosialisasikan 10 gejala awal penyakit demensia,” terang Roni.

Menurut Roni, berdasar hasil dua studi tersebut untuk mewujudkan kawasan ramah lansia dan ramah demensia perlu melibatkan 4 komponennya yaitu orang dengan demensia (ODD), komunitas lanjut usia (posyandu lansia, karangwerdha, dll), organisasi pemerhati kelanjutusiaan, dan pemerintah. Hasil studi SurveyMETER tentang kota ramah lanjut usia juga menjadi salah satu acuan Kemeterian Sosial dalam membuat Peraturan Menteri Sosial Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Ramah Lanjut Usia. “Permensos tersebut bisa menjadi salah satu rujukan dalam penyusuanan Perwali,” tukas Roni yang dipertegas dengan menyampaikan rekomendasi hasil studi.

Menanggapi paparan Roni, Suripto dari Komda Lansia DIY setuju dengan sebutan Kota Yogyakarta “menuju” ramah lanjut usia karena memang belum ramah. Ia menyayangkan sebagai provinsi dengan populasi lansia tertinggi di Indonesia, DIY belum juga memiliki Perda. Sementara Agus Suyono Hadi dari Komda Lansia Kota Yogyakarta yang sudah mengikuti hasil studi SurveyMETER sejak 2013 menyarankan dalam penyusunan peraturan nanti tidak hanya mengacu pada delapan dimensi dari WHO karena tiap kota dan negara memiliki faktor nilai yang berbeda apalagi kalau mau disatukan dengan kota pariwisata.

Di sesi diskusi beberapa OPD dan lembaga menyampaikan sejumlah capaian terkait program kelanjutusiaan di bidangnya dan sebagian lagi menyampaikan belum atau baru memulai program. Dara dari Bagian Hukum Pemkot Yogyakarta menyampaikan, salah satu kendala pembuatan Peraturan daerah adalah belum ada Perda di tingat provinsi. Selain itu di ingkat pusat pun pemerintah melalui kementerian sosial sedang mengajukan usulan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. “Yang menjadi dilema adalah kalau undang-undang itu turun maka kita akan mudur lagi ke belakang dan buang-buang biaya dan waktu sehingga paling tepat untuk dibuat Perwali dulu,” tutupnya.

Mengakhiri diskusi, koordinator Fopperham, Muhammad Nur Ramadhan menyimpulkan beberapa hal. Pertama, pemahaman keterkaitan peran lembaga dan OPD belum maksimal karena masih ada kerja yang parsial dan sektoral sehingga belum ada kerja interkoneksi dan integrasi pelayanan lansia. Kedua, informasi empiris pelayanan kelanjutusiaan sudah ada peningkatan pemerataan dengan adanya target sasaran layanan sudah menyasar lansia potensial, non-potensial, dan lansia penderita terlantar (PMKS). Ketiga, masalah regulasi masih menjadi tantangan bersama. Keempat, pokok-pokok pemikiran kebijakan ada 3 hal yaitu mengubah paradigma lansia dari objek menjadi subjek, kota ramah lansia Kota Yogyakarta harus khas, dan membuka ruang sosial-kebudayaan. (JF)