Menggugah Lahirnya Kebijakan Kelanjutusiaan di Provinsi Bali

Jumat, 27/07/2018SurveyMETERWayan Suriastini, Yuda Turana, Luh Ketut Suryani, I Wayan Sukadana, Bondan Sikoki, Firman Witoelar, Cokorda Bagus Jaya Lesman, Endra Dwi Mulyanto, Roni Hermoko, I G. A. A. Apsari Anandari

causes

Provinsi Bali sudah memasuki era struktur penduduk tua di tahun 2017 dengan persentase penduduk lanjut usia mencapai 10,79%. Kondisi tersebut menempatkan Provinsi Bali sebagai daerah dengan jumlah penduduk lanjut usia tertinggi di luar Pulau Jawa. Perbaikan dalam bidang kesehatan, migrasi, angka harapan hidup yang tinggi serta keberhasilan program keluarga berencana ikut berkontribusi dalam peningkatan jumlah pendudukan lanjut usia di Bali. Penomena penuaan penduduk tidak hanya terjadi di Bali tetapi juga terjadi secara nasional dan global. Seiring dengan penuan penduduk penyakit degeneratif seperti demensia juga semakin meningkat. 

Demensia merupakan suatu penyakit dengan serangkaian gejala penurunan fungsi otak seperti daya ingat, emosi, pemecahan masalah, termasuk komunikasi yang sifatnya progresif hingga tidak dapat lagi melakukan aktivitas harian. Pada tahun 2015, World Alzheimer’s Report memperkirakan terdapat 9,9 juta kasus demensia baru setiap tahun di seluruh dunia dan satu kasus baru setiap tiga detik. Biaya ekonomi yang dikeluarkan untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke atas, seperti Indonesia, diperkirakan mencapai US$ 2.2 Milyar per tahun. Biaya ini mencakup biaya medis, biaya sosial dan perawat yang tidak formal.

Hingga sebelum akhir tahun 2015, di Indonesia belum tersedia data tentang prevalensi demensia pada tingkat populasi. Studi SurveyMETER di DI Yogyakarta di pengujung tahun 2015 merupakan studi pertama di Indonesia tentang prevalensi demensia pada tingkat populasi dengan sampel bersekala besar. Indonesia sangat memerlukan data prevalensi demensia di provinsi lain untuk perencanaan penanganan demensia pada tingkat lokal maupun nasional.

Studi Demensia di Provinsi Bali yang dilakukan pada Maret-April 2018 bisa menjawab tantangan terhadap kebutuhan terhadap data pada tingkat populasi di luar Jawa. Guna memberikan informasi sekaligus untuk mengetahui kondisi demensia di luar Jawa pada umumnya dan Bali khususnya. Studi dilakukan SurveyMETER bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Suryani Institute, dan Alzheimer Indonesia (ALZI) dengan dukungan dari Knowledge Sector Initiative (KSI). Studi dilakukan di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali dengan total responden 1.685 lanjut usia di 117 desa/kelurahan. Data kemudian dianalisis berdasarkan faktor-faktor resiko untuk mendukung lahirnya kebijakan kelanjutusiaan di Bali yang mencakup kebijakan orang dengan demensia.   

Sama dengan di Yogyakarta studi di Bali menggunakan tiga instrumen yaitu MMSE, AD8, dan IADL untuk lanjut usia yang menjawab sendiri saat wawancara serta menggunakan AD8 dan IADL dari pengasuhnya. Data studi memperlihatkan prevalensi demensia lanjut usia di Provinsi Bali 1,6 kali lebih tinggi dari lanjut usia di DI Yogyakarta. 

Hal tersebut disebabkan berbagai faktor risiko yang dimiliki lanjut usia di Bali lebih besar dibandingkan dengan lanjut usia di DI Yogyakarta. Di antara berbagai faktor tersebut adalah tingkat pendidikan lanjut usia di Bali lebih rendah, lebih banyak tinggal di wilayah pedesaan, lebih banyak yang melaporkan memiliki tekanan darah tinggi, lebih banyak yang tidak bekerja, dan banyak yang tidak melakukan partisipasi sosial dibandingkan dengan lanjut usia di DI Yogyakarta.

Analisis bevariate menunjukkan lanjut usia yang melakukan aktivitas sosial atau bekerja memiliki tingkat prevalensi demensia jauh lebih rendah (setengahnya) dibandingkan dengan lanjut usia yang tidak berkerja atau melakukan aktivitas sosial. Lanjut usia yang masih bekerja atau melakukan ativitas sosial di Provinsi Bali yang demensia mencapai 23%. Prevalensi demensia tidak hanya dipengaruhi oleh status bekerja atau tidak namun juga oleh jenis pekerjaan. Pekerjaan seperti pekerja keluarga atau membantu seseorang memperoleh pengasilan tetapi tidak dibayar dengan jam kerja yang sedikit memberikan stimuli pada otak sehingga memiliki tingkat prevalensi yang paling tinggi disusul oleh pekerja yang berusaha sendiri. Sementara prevalensi paling rendah terjadi pada mereka yang berstatus sebagai pegawai swasta atau pegawai pemerintah.

Guna mencegah demensia dan menjamin lanjut usia selalu sehat, memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam bidang ekonomi maupun sosial, kawasan ramah lanjut usia dan demensia perlu diwujudkan. Kawasan ramah lanjut usia dan demensia akan meningkatkan kualitas hidup Orang Dengan Demensia (ODD) dan care givernya. Empat komponen utama kawasan ramah demensia adalah ODD itu sendiri, komunitas, kelembagaan, dan kemitraan.

Dokumen Alzheimer’s Disease International (ADI) dalam pemaparan tentang prinsip lingkungan fisik secara sepesifik menyebutkan perlu indentifikasi kesempatan berkolaborasi dengan group yang melakukan inisiatif kawasan ramah lanjut usia. Di Indonesia regulasi mewujudkan kawasan lanjut usia berkembang cukup pesat setelah dilakukannya studi asesmen kapasitas kota ramah lanjut usia di 14 kota tahun 2013 oleh studi SurveyMETER dan CAS UI. Pada tahun 2017, lahir Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 4 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Ramah Lanjut Usia. Pedoman tidak hanya mencakup delapan dimensi kota ramah lansia WHO 2007, namun juga memuat sejumlah dimensi penting yang ditambahkan menyesuaikan dengan konteks permasalahan di Indonesia di antaranya: memiliki kebijakan kelanjutusiaan, layanan keagamaan dan mental spiritual, advokasi sosial, bantuan hukum; dan/atau perlindungan lanjut usia dari ancaman dan tindak kekerasan.   

Disebutkan kriteria pertama dari sebuah kawasan dikatakan kawasan ramah lanjut usia adalah memiliki kebijakan kelanjutusiaan. Kebijakan kelanjutusiaan yang dimaksud harus mencerminkan keberpihakan pada lanjut usia dan tidak diskriminatif. Bentuk kebijakan dapat berupa Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah. Kebijakan dijabarkan menjadi rencana strategis dan pembiayaan bisa bersumber dari APBD, APBN, hibah dll. 

Adanya kebijakan kelanjutusiaan yang mencakup kebijakan ODD sangat penting karena: dapat memastikan terbentuknya kawasan ramah lanjut usia dan demensia; dapat menjadikan kebijakan kesehatan dan pelayanan sosial terkait lanjut usia dan demensia menjadi prioritas; dapat memperbaiki pengetahuan, pemahaman, sikap dan prilaku, para pelayan masyarakat dan profesional terkait lanjut usia dan demensia; dapat meningkatkan investasi dalam bidang kesehatan dan sistem sosial untuk memperbaiki perawatan dan pelayanan lanjut usia dan demensia; meningkatkan prioritas agenda penelitian tentang lanjut usia dan demensia. Semua upaya ini akan bermuara pada penguatan posisi lanjut usia dalam berbangsa yang dapat menyangga pembangunan, mengawal nilai-nilai budaya dan menginspirasi generasi muda.

 

*Disarikan dari Research Brief SurveyMETER, Juli 2018, Oleh: Wayan Suriastini, Yuda Turana, Luh Ketut Suryani, I Wayan Sukadana, Bondan Sikoki, Firman Witoelar, Cokorda Bagus Jaya Lesman, Endra Dwi Mulyanto, Roni Hermoko, I G. A. A. Apsari Anandari. Hasil studi telah dipaparkan kepada pemangku kebijakan dan kepentingan terkait di Provinsi Bali pada kegiatan “Diseminasi Hasil studi Demensia di Bali: Mendorong Lahirnya Kebijakan Kelanjutusiaan di Bali” pada Senin (16/06/ 2018), di Gedung Wisma Sabha Utama Lt. 2, Kompleks Kantor Gubernur Provinsi Bali. Research Brief versi cetak silahkan unduh di sini