Pendidikan Seks dan Kolam Renang: Kekeliruan Komisioner Anak Menunjukkan Perlunya Perubahan
Jumat, 06/03/2020SurveyMETERDwi Oktarina, S.Si., M.P.H.
Sitti Hikmawatty, seorang komisioner perlindungan anak, terpaksa meminta maaf pada akhir Februari setelah membuat pernyataan yang keliru bahwa kehamilan dapat terjadi melalui "pertemuan tidak langsung" antara orang-orang dari jenis kelamin yang berbeda, termasuk melalui air di kolam renang.
Pernyataan tersebut dibuat dalam sebuah rekaman wawancara (tautan eksternal), sebagai tanggapan atas pertanyaan terkait tindakan yang diambil oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk mengatasi kehamilan remaja.
Pada saat mengungkapkan pernyataan yang menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang mekanisme reproduksi, komisaris juga merekomendasikan agar orang tua berbicara kepada anak-anak begitu mereka mencapai pubertas tentang bahaya bersosialisasi dengan lawan jenis, karena "pertemuan tidak langsung" antara sel-sel kelamin pria dan wanita bisa mengakibatkan kehamilan.
Dia memberikan contoh kolam renang sebagai "mediator" potensial untuk pembuahan "tidak langsung", dan mengatakan bahwa "ada jenis kondisi sperma tertentu yang kuat, dan dapat menghasilkan kehamilan bahkan tanpa penetrasi" untuk seorang gadis atau wanita yang berenang selama masa subur.
Klaim tersebut menggelikan—dan sejak itu telah banyak yang menertawakan secara online (tautannya eksternal)—tetapi mereka juga mengungkapkan beberapa kekhawatiran serius mengenai kondisi kesehatan seksual dan reproduksi remaja di Indonesia.
Remaja di Indonesia menghadapi risiko yang relatif tinggi untuk tertular infeksi menular seksual (IMS), dan anak perempuan berisiko terkena penyakit yang diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan tentang manajemen kebersihan menstruasi, serta risiko kehamilan yang tidak diinginkan, atau bahkan kematian akibat komplikasi selama kehamilan atau persalinan. Angka kematian ibu di Indonesia adalah sekitar 177 kematian per 100.000 kelahiran hidup, dan hampir 10 persen kematian ibu terjadi di kalangan remaja berusia 15-19 tahun, menurut statistik nasional. Pada kenyataannya jumlah kematian ibu remaja mungkin bahkan lebih tinggi, karena adanya kejadian kehamilan dan kematian melalui usaha percobaan penghentian kehamilan atau persalinan yang tidak dilaporkan.
Tabu sosial yang melingkupi masalah kesehatan seksual dan reproduksi, sementara dimaksudkan untuk melindungi kaum muda dari perilaku yang tidak diinginkan, justru sebenarnya membahayakan kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Hal Tabu pada Remaja
Seksualitas adalah topik sensitif di Indonesia. Orang tua enggan untuk mendiskusikannya dengan anak-anak mereka dan, seperti ditunjukkan oleh komisioner, kebanyakan orang dewasa bukanlah sumber pengetahuan reproduksi yang dapat diandalkan. Seiring penggunaan internet yang semakin meluas, remaja semakin mudah mencari informasi secara online, dari sumber dengan akurasi dan validitas yang beragam.
Budaya pop memberikan beberapa wawasan—seri Netflix “Sex education (tautan eksternal)” telah menjadi topik percakapan online diantra para milenial Indonesia, disukai karena eksplorasi seks dan seksualitasnya yang santai dan penuh humor (tautan eksternal), hal-hal yang biasanya terselubung dalam misteri dan tabu.
Pembuat film lokal juga telah melakukan upaya untuk mengangkat masalah tersebut. Sebuah film yang dirilis tahun lalu berjudul " Dua Garis Biru " (tautan eksternal) menggambarkan pengalaman khas seorang remaja yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia. Para pembuat film mengeksplorasi masalah yang dihadapi oleh remaja dalam mengakses kontrasepsi, konsekuensi kehamilan pada usia muda, dan pentingnya pendidikan seks untuk remaja, yang menunjukkan bahwa anjuran tidak melakukan seks pranikah mungkin bukan pendekatan yang efektif.
Meskipun demikian, film ini juga mendapat reaksi negatif publik yang signifikan. Para kritikus mengatakan film ini mendorong aktivitas seksual di kalangan siswa sekolah menengah dan mempromosikan budaya "seks bebas", sebuah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan perilaku seks dengan banyak pasangan dan tidak bermoral.
Pada kenyataannya seks pranikah di Indonesia sudah terjadi, meskipun tidak diterima secara sosial. Untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan remaja, akses ke kontrasepsi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi diperlukan. Saat ini, kondom dapat diakses secara luas—meskipun kaum muda mungkin enggan membelinya karena stigma yang terkait—sementara layanan keluarga berencana dan cara lain untuk mengakses kontrasepsi hanya tersedia untuk pasangan yang sudah menikah.
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 melaporkan 1,97 persen kehamilan di kalangan remaja berusia 15-19 tahun. Ini menyiratkan bahwa hak remaja untuk kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia telah diabaikan, sekaligus menyoroti kegagalan untuk memberikan informasi yang diperlukan dan akses ke kontrasepsi pada remaja.
Kehamilan pada masa remaja dikaitkan dengan banyak konsekuensi negatif pada kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi. Selama kehamilan, anak perempuan remaja lebih rentan mengalami anemia daripada wanita yang hamil di usia 20-an. Kondisi ini meningkatkan risiko kelahiran prematur dan dapat mengakibatkan bayi lahir dengan berat rendah, serta stunting atau kematian bayi baru lahir.
Selama persalinan, anak perempuan remaja menghadapi risiko lebih tinggi untuk mengalami preeklamsia, fistula obstetri karena persalinan yang terhambat, dan komplikasi lain yang dapat menyebabkan kematian ibu.
Selain itu, karena tekanan sosial, remaja yang hamil saat remaja sering dipaksa menikah muda. Akibatnya mereka kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan atau melanjutkan pendidikan mereka, dan sepanjang hidup mereka menghadapi pilihan pekerjaan yang terbatas. Beban kehamilan remaja secara tidak proporsional ditanggung oleh anak perempuan. Anak laki-laki, sebagai bagian yang juga berperan pada kejadian kehamilan, cenderung tetap bersekolah, dan terhindar dari banyak konsekuensi kesehatan dan prospek ekonomi seperti yang dialami anak perempuan.
Aspek lain yang diabaikan dalam kesehatan seksual dan reproduksi untuk anak perempuan adalah kebersihan menstruasi. Manajemen kebersihan menstruasi yang buruk adalah masalah yang banyak dialami oleh anak perempuan di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Sebuah studi tahun 2015 yang dilakukan bersama oleh SurveyMETER , the Burnet Institute, dan WaterAid Australia, yang didanai oleh UNICEF, menemukan bahwa anak-anak sekolah di Indonesia menghadapi hambatan dalam mempraktikkan kebersihan menstruasi yang baik di sekolah. Kurangnya fasilitas mencuci , termasuk air bersih dan toilet, berarti bahwa anak perempuan tidak dapat mengganti pembalut mereka secara teratur, dan akibatnya sering menggunakan pembalut lebih dari delapan jam.
Beberapa penelitian telah mendokumentasikan bahwa praktik manajemen kebersihan menstruasi yang tidak higienis seperti ini dapat menyebabkan vaginosis bakterialis, suatu kondisi yang dapat mengakibatkan risiko kesehatan seperti kelahiran prematur, mengalami IMS (tautan eksternal) dan penyakit radang panggul (tautan eksternal), yang pada akhirnya dapat menyebabkan komplikasi kesehatan ibu, infertilitas, dan kanker.
Karena sensitivitas isu kesehatan seksual dan reproduksi maka data dan informasi mengenai topik ini terbatas. Sebagai contoh, data tentang IMS sering terbatas pada statistik tentang HIV di antara populasi berisiko tinggi seperti pekerja seks perempuan. Oleh karena itu, prevalensi kondisi kesehatan seperti vaginosis bakterialis kemungkinan besar terunderestimate (diremehkan).
Meskipun risiko dapat diminimalkan melalui deteksi dini, stigma sosial dan sikap negatif di antara petugas kesehatan terhadap klien remaja berarti bahwa remaja tidak akan mau mengunjungi pusat kesehatan untuk mencari saran mengenai masalah kesehatan seksual dan reproduksi.
Solusi Edukasi Seks
Penelitian menunjukkan (tautan eksternal) bahwa pendidikan dan konseling kesehatan seksual dan reproduksi, serta menyediakan akses ke kontrasepsi, adalah cara paling efektif untuk meningkatkan pengetahuan di kalangan remaja, dan mengurangi angka kehamilan remaja. Memberikan informasi seksual dan reproduksi yang memadai kepada kaum muda, terutama anak perempuan, dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir, dengan demikian mendukung tujuan pemerintah untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGDs) dari PBB.
Meskipun demikian, upaya yang dilakukan pemerintah masih sedikit dalam hal melakukan penelitian dan memberikan pendidikan dan layanan yang berkualitas kepada remaja. Pada 2015, Mahkamah Konstitusi menolak petisi dari PKBI (tautan eksternal) untuk secara eksplisit memasukkan pendidikan seks dalam kurikulum sekolah.
Ketika pendidikan seks disediakan di sekolah, materi yang diberikan terbatas pada pelajaran biologi manusia tentang sistem reproduksi, tanpa ruang untuk berdiskusi tentang seksualitas atau kontrasepsi. Pesan utama yang diberikan kepada siswa adalah berpantang untuk melakukan seks pranikah, atau menghindari kontak sosial dengan lawan jenis, seperti yang dipromosikan oleh komisioner KPAI minggu lalu.
Pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan, harus mengatasi ketakutannya untuk melanggar tabu sosial dan mempertimbangkan cara-cara yang lebih baik untuk memberikan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi kepada semua remaja.
Kontroversi sudah dapat dipastikan akan terjadi, tetapi langkah berani ke arah ini tidak hanya akan membantu pemerintah memenuhi komitmen internasionalnya, tetapi juga akan meningkatkan kualitas hidup bagi generasi sekarang dan generasi masa depan negara tersebut.
Publikasi artikel ini versi asalnya (Bahasa Inggris) dapat dilihat di: https://bit.ly/2S6IYSS