Pandemi dan Beban Lingkungan
Jumat, 26/06/2020YogyakartaIka Yulia Wijayanti, S.E., M.Sc.
Karantina wilayah dan pembatasan aktivitas sebagai respon dari pandemi Covid-19 sempat memberi dampak positif bagi peningkatan kualitas udara secara global. Namun, sesungguhnya pandemi menunjukkan masalah mendasar yang sedang dihadapi lingkungan.
Sebagai contoh, Jakarta sempat mengalami penurunan kadar karbondioksida (CO2) yang bersumber dari kendaraan bermotor selama kurun waktu Februari-Maret. Sayangnya, hal tersebut hanya berlangsung singkat. Kemacetan kendaraan bermotor seiring diberlakukannya kondisi normal baru (new normal) akan membawa kadar CO2 kembali ke kisaran normal.
Peningkatan kualitas udara selama karantina wilayah sulit dipertahankan lebih lama karena perubahan yang terjadi tidak bersifat struktural seperti beralihnya penggunaan energi berbahan dasar fosil yang tinggi polutan ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Turunnya harga minyak dunia akibat berkurangnya permintaan turut mengonfirmasi fakta tersebut.
Padahal jika penurunan tingkat polusi dapat dipertahankan, manfaatnya akan jauh lebih besar. Penelitian Marshall Burke, seorang professor Stanford University, menunjukkan bahwa penurunan polusi udara selama karantina wilayah akan menyelamatkan manusia dari kematian dini akibat paparan polusi dalam jumlah yang lebih besar daripada kematian yang diakibatkan oleh Covid-19 di China. Hasil penelitian tersebut diharapkan menjadi bahan evaluasi atas perilaku manusia dalam kondisi normal yang membebani lingkungan.
Pada masa pandemi, gerakan mengurangi sampah plastik cenderung dikesampingkan karena ketakutan masyarakat bahwa virus dapat bertahan di benda-benda tertentu selama beberapa waktu. Penggunaan masker dan sarung tangan sekali pakai oleh masyarakat umum juga turut meningkatkan sampah rumah tangga.
Sementara itu, penanganan pasien Covid-19 membawa konsekuensi melimpahnya limbah medis. Kementerian Lingkungan Hidup RI memprediksi adanya peningkatan limbah infeksius sebesar 30 persen dibandingkan kondisi sebelum pandemi. Di tengah kurangnya fasilitas pengolahan limbah berbahaya seperti insinerator, peningkatan limbah medis di Indonesia berpotensi memunculkan masalah serius seperti pengolahan limbah medis ilegal.
Jika ditelisik lebih jauh, misteri penyebab pandemi sangat mungkin terkait dengan krisis lingkungan yang sedang terjadi. Covid-19 menjadi pandemi global karena penularannya yang cepat dari manusia ke manusia melalui cairan (droplets). Namun demikian, menurut laporan misi kerjasama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pemerintah China, SARS-CoV-2 sebagai pemicu Covid-19 adalah virus zoonotik. Artinya, virus tersebut pada awalnya ditularkan dari hewan ke manusia.
Kemunculan virus zoonotik terkait erat dengan kondisi ekosistem lingkungan dimana manusia dan hewan berbagi tempat hidup. Keanekaragaman hayati yang rusak dan perubahan iklim mendorong munculnya patogen yang semakin kuat akibat proses adaptasi terhadap tekanan lingkungan. Sementara itu, kontak satwa liar dengan manusia memperbesar potensi penularan kepada manusia.
New normal bagi lingkungan
Pengalaman berperang melawan penyakit baru, sejenak merasakan perubahan tingkat polusi, dan potensi meningkatnya sampah yang harus dikelola seharusnya memunculkan kesadaran akan dampak krisis lingkungan dan apa yang harus dilakukan ke depannya. Beberapa langkah perlu dipertimbangkan agar lingkungan turut menikmati new normal yang lebih baik.
Pertama, perubahan perilaku produksi dan konsumsi untuk mencapai peningkatan kualitas udara yang berkelanjutan. Upaya menemukan energi yang ramah lingkungan untuk menggantikan energi tinggi polutan perlu diprioritaskan sebagai investasi jangka panjang. Sementara itu, pengelolaan polutan industri dan penyediaan transportasi umum untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi cukup mendesak dilakukan.
Kedua, perlakuan terhadap sampah dan limbah, baik limbah medis maupun sampah rumah tangga. Gerakan mengurangi sampah plastik harus tetap dilakukan oleh seluruh masyarakat dengan tetap memperhatikan higienitas. Pendataan masyarakat yang menjalani isolasi di rumah seharusnya diikuti oleh mekanisme pengambilan sampah rumah tangga yang berpotensi membahayakan jika dikelola seperti kondisi normal. Tentunya hal ini juga harus diiringi peningkatan kapasitas pengolahan limbah medis melalui insinerator maupun pengolah alternatif lain agar mampu memenuhi kebutuhan pengolahan limbah dari fasilitas pelayanan kesehatan dan sampah rumah tangga yang beresiko.
Ketiga, menjaga kesehatan ekosistem antara lain dengan membiarkan satwa liar tetap pada habitatnya dan menjaga keanekaragaman hayati yang mendukungnya. Regulasi dan penegakan hukum terkait perdagangan satwa liar dan tata guna lahan berperan penting dalam meminimalisir kemungkinan kontak dengan manusia.
________
*Tulisan pertama kali dipublikasikan di rubrik “INSPIRASI UNTUK KEBIJAKAN” SKH Kedaulatan Rakyat, Edisi Jumat 26 Juni 2020. Untuk melihat versi koran cetak silahkan klik di sini.